Translate

Kamis, 19 Februari 2009

PROFIL SEORANG GURU IDEAL IBARAT ARTIS IDOLA

Di suatu daerah yang dijadwalkan akan kedatangan sebuah group band terkenal di negeri itu, dapat dipastikan masyarakatnya akan sangat antusias mengadakan penyambutan. Jika yang datang adalah group band idola anak muda maka para remaja dan ABG kota itu sudah kasak kusuk menunggu idolanya. Mereka menunggu dengan penuh kerinduan seolah akan bertemu pujaan hati yang lama dinantikan. Semakin dekat pertemuan makin berdebar, mereka sibuk dengan segala rencana yang akan dilakukan jika bertemu sang pujaan, mulai berjabat tangan, minta foto bersama, tanda tangan sampai dengan peluk cium penuh kecintaan. Mereka rela bersusah payah untuk pertemuan tersebut, loket yang masih tutup terkadang mereka tunggu, antrian panjang dan terik matahari tak dihiraukan bahkan tiket dengan harga selangit dari calo pun diterjang demi kecintaannya pada sang idola. Begitu band pujaan naik panggung, segala rasa tumplek jadi satu, senang, bangga, antusias, berteriak, ikut menyanyi, menari, jingkrak-jingkrak seperti yang dilakukan artis idolanya. Suasana benar – benar menghipnotis, waktu beberapa jam pun tak terasa, dan rasa capek terkalahkan. Jika sudah habis masa pertemuannya mereka begitu kecewa, terharu, berat hati melepas kepergiannya seolah mau ditinggal mati saja.
Itulah gambaran para penggemar terhadap sang artis idola, permasalannya adalah bagaimana jika kondisi seperti itu dapat kita usung dalam dunia pendidikan, dimana guru sebagai sang artis idola dan para siswa adalah penggemarnya. Karena menurut Suryaningsih (2006) pada dasarnya guru adalah sumber daya potensial yang sarat nilai moral dalam melakukan transpormasi ilmu pengetahuan kepada murid – muridnya. Dalam angkatan bersenjata faktor ini disebut “ the man behind the gun.”. Orang – orang militer berpendapat bahwa bukan senjata yag memenangkan perang, tetapi serdadu yang memegang senjata itu. Serdadu tidak akan memenangkan suatu pertempuran apabila tidak menguasai strategi perang.

 Guru dituntut memiliki kualitas ketika menyajikan bahan pengajaran kepada subyek didik. Kualitas seorang guru itu dapat diukur dari moralitas, bijaksana, sabar dan menguasai bahan pelajaran ketika beradaptasi dengan subyek didik. Sejumlah faktor itu membuat dirinya mampu menghadapi masalah-masalah sulit, tidak mudah putus asa, frustasi, depresi atau stress secara positif atau konstruktif, dan tidak destruktif.

 Ukuran ideal seorang guru tergantung pada kemampuan dan pengalaman intelektualitasnya. Guru harus memiliki “ skill labour ” yaitu tenaga terdidik atau terlatih dengan kebiasaan-kebiasaan baik, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan subyek didik. Guru merupakan figur dalam penyuksesan pendidikan bagi anak didik. Tidak cukup hanya itu saja, bahkan guru dituntut harus memiliki akhlak yang baik. .(Ana Poejiati : 1987)

 Muhammad ‘ Abd al – Qadir Ahmad menuturkan “ Banyak siswa yang membenci suatu ilmu atau materi pelajaran karena watak guru yang keras, akhlaq guru yang kasar dan cara mengajar yang sulit. Di pihak lain banyak pula siswa yang menyukai dan tertarik untuk mempelajari suatu ilmu atau suatu materi pelajaran, karena cara perlakuan yang baik, kelembutan dan keteladanan yang indah. Menurut Edy Siswanto ( 2003 ) bahwasannya guru bukan majikan tetapi guru adalah pelayan siswa. Jika kita para guru mendapatkan amanat dari siswa maka kita harus berusaha melayani dengan baik, berusaha menyenangkan, bukan malah minta diperhatikan apalagi mempersulit siswa. 

Sosok seorang guru ideal ibarat artis idola yang kedatangannya selalu dirindukan, siswa akan berusaha bahkan rela bersusah payah demi keinginan bertemu dengan guru idolanya. Jadwal pertemuannya masih hari esoknya namun sekarang mereka sudah menyiapkan dan memimpikan kehadirannya. Mereka juga berharap saat pertemuannya guru akan memberikan suatu kesan dan pengalaman bermakna dalam kehidupan mereka melalui kegiatan pembelajaran yang diberikan. Karena menurut Ausubel (1968)“The most important single faktor influencing learning is what the learner alredy knows. Ascertain this and teach him accordingly“. Jadi, agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam hal ini guru dituntut kreatif mencari ide untuk mengaitkan informasi baru yang akan disampaikan dengan konsep yang telah dimiliki siswa secara menarik, menyenangkan bahkan kalau bisa membuat penasaran dan menantang. Sehingga waktu kegiatan pembelajaran mereka sangat tidak berasa bahkan kurang, karena keprofesionalan sang guru mengelola dengan menyajikan berbagai macam metode yang menarik, jika bel tanda akhir pertemuan berbunyi mereka akan mengeluh atau mengerutu karena pertemuannya dengan sang idola belum terpuaskan. Bahkan mereka pun akan berusaha menemui diluar jatah atau jam pelajarannnya, sekedar untuk curhat, menanyakan beberapa hal, atau sekedar cerita-cerita yang membuat mereka dan gurunya tertawa-tawa. Banyak pengalaman yang penulis rasakan dalam perjalanan menjadi guru. Mulai anak yang punya jadwal membolos karena begitu anti patinya pada gurunya, sampai dengan anak yang setiap istirahat berkumpul patungan untuk membelikan jajan, atau merengek ibunya minta bekal yang unik agar gurunya tidak ke ruang guru tetapi berada di kelasnya makan bersama mereka, bercengkerama, bercanda sampai tertawa-tawa dan merajuk, karena guru itu terbiasa melakukan hal tersebut.

Dalam UU no 14/2005 mengenai 4 syarat kompetensi guru, serta rumusan dari komisi khusus ditjend Dikti tentang sosok utuh guru profesional. Di sana tertera yakni guru profesional itu: (1) memahami peserta didik, (2) memiliki kemampuan pembelajaran yang mendidik, (3) menguasai bidang studi, dan (4) mampu mengembangkan kemampuan profesionalnya secara berkelanjutan. Persoalannya adalah sudahkan kita memilikihal-hal tersebut? Maka menjadi PR kita bersama bahwa menjadi guru adalah adanya kewajiban untuk selalu meningkatkan mutu diri kita secara berkelanjutan menuju pada sosok guru yang diidealkan oleh semua pihak: siswa, teman sesama, orang tua siswa, masyarakat, dan pemerintah. (Arif .KP.: 2006)
Guru merupakan profesi, yaitu pekerjaan yang menuntut keahlian. Artinya, pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran di sekolah terhadap peserta didik tidak bisa dilakukan sembarang orang, karena untuk melakukan tersebut dituntut keahlian atau kompetensi sebagai guru.
Sebagai profesi, guru harus dapat merebut kepercayaan publik melalui peningkatan kualitas guru dan pelayanan pendidikan dan pembelajaran. Kepercayaan menjadi faktor kunci dalam mengokohkan identitas guru. Seiring dengan upaya tersebut, sebagai profesi guru harus selalu melakukan profesionalisasi yaitu meningkatkan dirinya dan pelayanannya sesuai dengan tuntutan zaman.(Mungin Eddy.W : 2005)

Sungguh akan luar biasa sistem pendidikan di negeri ini, jika hal hal tersebut diatas benar-benar dapat diaktualisasikan . Sudah dapat dipastikan akan tercetak generasi-generasi kebanggaan penuh harapan. Betapa nikmat dan berharganya profil seorang guru ideal, hidup kan sangat berarti, hari-hari khan dipenuhi rasa ingin segera bertemu siswanya untuk mentransfer ilmu yang bermanfaat sebanyak banyaknya, saat kematian akan tersenyum sungging penuh keikhlasan, dan di alam barzah akan terasa sejuk semilir angin spoi manakala ilmu yang bermanfaat di terapkan oleh generasinya bahkan do’a dari siswa selalu terkirim setiap saat karena mereka teringat gurunya setiap kali menerapkan ilmunya. Mungkinkah hal itu terjadi ? Wallohu a’lam bissawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar